Oleh: Nanang Qosim |
Seluruh rakyat Indonesia tentu sudah mengetahui, jikalau sepuluh November dijadikan bangsa ini sebagai hari Pahlawan, sebuah hari yang dijadikan untuk memperingati terjadinya peristiwa heroik di Surabaya dan karena diambil dari keberhasilan para pejuang Surabaya merebut Hotel Orange (Hotel Mojopahit) yang merupakan simbol penjajahan. Pada hari Pahlawan, sejarah kembali dibuka untuk mengetahui bagaimana perjalanan bangsa ini mengusir para penjajah.
Sayangnya, hari Pahlawan akan masuk dalam
daftar ritualisme bangsa ini, jika hanya dilakukan sebagai rutinitas, sebuah
kegiatan yang diulang-ulang untuk memenuhi agenda tahunan. Karena itu, hari
Pahlawan jangan sekadar dimaknai sebagai aktivitas simbolik dan upacara bendera
yang tak menyisihkan apa pun pada ruang jiwa sebagai pemaknaan eksistensinya.
Dalam memperingati hari Pahlawan, seluruh
rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke harus selalu diingatkan pada salah
satu tokoh yang tak asing lagi di telinga, yaitu Bung Tomo. Mengingatkan pula,
bahwa kurang lebih sebanyak 16 ribu nyawa hilang untuk memperebutkan
kemerdekaan, karena itulah wajar bila setiap 10 November, bangsa Indonesia
diberi waktu untuk mengenang dan merenungkan kembali pahlawan terdalulu.
Bung Tomo merupakan salah satu pahlawan
nasional bangsa ini, yang membakar semangat nasionalisme dan patriotisme
anak-anak bangsa, khususnya arek-arek Surabaya pada 10 November 1945
dalam pertempuran melawan tentara Belanda atau Nederlandsch Indie Civil
Administratie. Sebuah pertempuran yang menurut para pelaku sejarah, dan
bagi penerima sejarah (generasi penulis) dianggap sebagai pertempuran terberat
dan menjadi simbol perlawanan Indonesia terhadap penjajah.
Bung Tomo merupakan pemimpin dalam
pertempuran melawan para penjajah waktu di Surabaya. Ia terkenal dengan
pidatonya yang berapi-api dan menggugah jiwa patriotisme anak-anak bangsa.
Berkat perjuangan dan motivasi yang membara Bung Tomo tersebut, maka pemerintah
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada tahun 2008, atau pada 63
tahun setelah terjadinya pertempuran Surabaya.
Salah satu pidatonya yang membara pada
saat itu adalah “Kita
wujudkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka. Dan untuk
itu kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada kita tidak
merdeka. Semboyan kita tetap... Merdeka atau mati. Dan kita yakin, saudara-saudara.
Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu
berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara! Tuhan akan melindungi
kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!"
Narasi Perjuangan Pahlawan
Peristiwa 10 November, tentu bukan hanya
narasi biasa saja, melainkan menjadi narasi perjuangan yang penuh gairah
patriotisme yang ditumbuhkan para pahlawan kita, dan bukan pula diperingati
untuk mengenang gugurnya para pahlawan di Surabaya saja, tetapi juga terhadap
sekian banyaknya pahlawan yang gugur di seluruh pelosok-penjuru Nusantara yang
membela bangsa dan negara ini, meskipun nyawa taruhannya. Hanya saja, peristiwa
10 November memiliki gaung lebih besar lantaran peristiwa itu mampu mengguncang
dunia, masyarakat internasional.
Bahwa sesungguhnya, semangat Bung Tomo
dan kawan-kawan tentang kisah arek-arek Surabaya 10 November 1945 setidaknya
memberikan kita sebuah pelajaran yang sangat berharga serta mulia, mereka
berani berkorban untuk melawan segala bentuk penjajahan karena Indonesia sudah
jelas menyatakan kemerdekannya. Dalam membela bangsa dan negara ini, mereka
tidak digaji dan tidak mengharapkan imbalan satu sen pun untuk nilai perjuangan
mereka.
Pada peristiwa
10 November yang bergelora itu mencerminkan kesatu-paduan motivasi yang
terwujud, mencerminkan kesatu-paduan motivasi yang terwujud, melenyapkan rasa
takut dan gentar, manakala bambu-bambu runcing mesti berhadapan dengan kekuatan
meriam atau artileri yang didukung kapal induk
dengan destroyer-destroyer pemuntah peluru, maupun pesawat terbang
yang menghujani tembakan-tembakan keji dari udara.
Karena itu, narasi perjuangan para
pahlawan waktu bertempur melawan penjajah, mengajarkan kita tentang bagaimana
karakter pejuang pembela bangsa dan negara. Mengajarkan kepada kita, bahwa para
pahlawan adalah sosok yang pemberani dan penuh tanggungjawab.
Menanti Pahlawan Kekinian
Kini, di era yang tidak ada lagi perang
di negeri ini, menunjukkan bahwa pahlawan kemerdekaan dan kebangsaan negeri ini
sudah sedemikian banyak, namun pahlawan untuk menangani degradasi moral
masyarakat Indonesia sampai sekarang belum diikrarkan. Mengingat bangsa ini,
masih dirundung banyak masalah yang berkenaan dengan degradasi moral dan
sekaligus masalah hancurnya mental bangsa ini. Karena itu, pahlawan kini jangan
pernah berhenti dan berdiam. Melainkan terus berjuang dengan mental asketis,
analisis progresif, dan kerja revolusioner untuk merubahnya. Para pahlawan kini
akan merubah moral masyarakat yang buruk menjadi lebih baik.
Salah satu degradasi moral yang
menjangkiti masyarakat kita adalah makin masifnya perilaku yang melakukan
perselingkuhan dengan uang atau korupsi. Karena kita tahu, korupsi masih jadi
wabah yang terus memburu korban dan menyusup dalam mental manusia Indonesia.
Mental koruptif warga negeri ini sudah mencapai titik akut yang pedih
menyakitkan. Bisa dilihat, bagaimana pemegang kuasa, dari pucuk tertinggi
sampai struktur desa, sering tergoda mempraktikkan korupsi. Dan hasilnya,
tindakan koruptif seolah-olah menjadi watak, mekanisme berpikir, dan strategi
bekerja yang mengesampingkan sikap kreatif.
Maka, berangkat dari masalah tersebut,
sebagai generasi muda harus menyadari bahwa bangsa Indonesia ini membutuhkan
pahlawan-pahlawan baru, atau kekinian untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang
demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, santun
dalam berbudaya dan merdeka dengan sebenar-benarnya. Kita harus sadar bahwa
kita mampu menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara ini. Seperti dalam kata
bijak, bahwa “Pahlawan adalah orang biasa, namun dia mampu melakukan
kerja-kerja yang luar biasa untuk kemaslahatan masyarakatnya.”
Kalau kembali pada narasi Bung Tomo,
sebuah pengabdian yang luar biasa memang dia lakukan. Lalu pertanyaannya,
mengapa semangat Bung Tomo dan kawan-kawan, jarang dipetik oleh kita yang
sekarang ini? Andaikan semua elemen bangsa ini mewarisi setengah saja dari
semangat arek 10 November Surabaya untuk bangsa ini, maka bangsa ini akan
sangat besar.
Sikap
Pahlawan Kekinian
Bagi penulis, bersikap pahlawan k
ekinian
tidaklah harus berperang melawan musuh-musuh bangsa dengan bom, parang, keris
atau bambu runcing seperti pahlawan pada masa dahulu, karena dengan alasan
sederhana, bangsa ini tidak sedang berperang mengangkat senjata. Bukankah arti
pahlawan itu adalah orang yang menampakkan dirinya karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah
pejuang yang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal
sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
Bila demikian, maka jiwa kepahlawanan
akan tumbuh pada diri kita ketika kita benar-benar memaknai arti kata pahlawan
itu sendiri. Oleh karena itu, pada refleksi hari Pahlawan tahun ini, penulis
masih mempunyai optimisme yang kuat dalam sanubari, bahwa akan terus muncul
generasi muda yang berani dalam mengatakan sebuah kebenaran, akan terus lahir
anak muda sebagai ksatria yang berani berkorban untuk bangsa dan negaranya.
Terakhir, bangsa ini masih butuh
pahlawan, dan dengan menghargai pahlawan-pahlawannya di masa lalu, bangsa ini
akan menjadi bangsa besar yang sesungguhnya. Bangsa yang besar ialah bangsa
yang menghargai para pahlawannya. Semakin banyak pahlawan maka makin besarlah
bangsa itu. Pahlawan senantiasa dibutuhkan sebuah bangsa dalam mencapai
cita-cita mulianya. Maka, kita tunggu saja hadirnya pahlawan kekinian.
Tag :
Opini
0 Komentar untuk " Pahlawan Kekinian "