Nanang Qosim |
Kekerasan
adalah fenomena sosial keberagamaan dari para pemeluknya, sebab berbeda antara
agama dan beragama. Secara historis, di dalam kehidupan keberagamaan sarat
potensi konflik karena truth claimed para pemeluknya. Selain itu ada
relasi dan dimensi social order yang dibangun di antara para pemeluk
agama.
Sejarah
mencatat berbagai kekerasan yang dipicu faktor keberagamaan. Misalnya,
penembakan etnis di California serta Illinois 1999 dan penyerangan kedutaan
Amerika di Afrika 1998. Di Indonesia, sikap antipluralisme memicu perusakan
tempat-tempat ibadah oleh oknum pemeluk agama hanya karena perbedaan pemahaman
keagamaan.
Sejak kaum
teroris meluluhlantakkan menara kembar WTC di New York (9/11-2001), citra Islam
kerap dikaitkan dengan kekerasan dan terorisme. Karel Armstrong, penulis buku
The History of God, melihat ketidakadilan dalam sirkulasi informasi di dunia
selama ini, yakni berupa penyuguhan citra Islam yang buruk.
Armstrong
menerangkan bahwa pengaitan Islam dengan terorisme merupakan stigmatisasi.
Mengapa? Karena Islam adalah agama damai. Islam sama sekali tidak mengajarkan
umatnya untuk menggunakan modus kekerasan dalam berdakwah, apalagi terorisme.
Firman Allah SWT: "Ajaklah manusia ke jalan Tuhan dengan hikmat dan
kebijaksanaan".
Mengubah
Sikap Keberagamaan
Menurut
hemat penulis, guna mencegah tindak anarkis dan aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama, kita perlu mengubah sikap keberagamaan dengan semangat
pluralisme. Tanpa semangat pluralisme, mustahil kita bisa lepas dari budaya
kekerasan. Kita perlu memperbaiki setiap jalan pikiran, pengertian dan persepsi
keberagamaan yang keliru, sebab semua ucapan dan tindakan manusia merupakan
refleksi dari pikirannya sendiri.
Dalam
kajian filsafat the science of the soul (soulogi), seluruh fenomena dunia ini
merupakan gambar pikiran, timbul dari pikiran, serta ditanggapi oleh pikiran
kita sendiri. Artinya kita perlu memuaskan akal (satisfying intellect), agar
tak terjebak konflik kepentingan dan vested interest yang selama ini
membelenggu pikiran dan menyengsarakan umat manusia.
Maka, untuk
memperbaiki dunia ini, kita perlu mengubah sikap mental (mental attitude), pola
pikir (mind-set), dan cara berpikir yang negatif serta irasional. Seseorang
boleh bilang paham keagamaan orang lain sesat, tetapi saat ia memaksakan
pahamnya agar dianut orang lain, bukankah ia menafikan hak asasi orang lain
untuk menganut pahamnya sendiri? Padahal, dalam Al Qur'an, Tuhan menegaskan
tidak ada paksaan dalam beragama.
Pluralisme
tak mungkin bisa dipahami hanya dengan mengakui bahwa masyarakat kita beraneka
ragam, terdiri atas berbagai suku dan agama. Bukankah kemajemukan itu juga
kebijakan Tuhan? Pluralisme sejatinya merupakan anugerah besar Tuhan agar
diolah umat manusia, terutama melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan
yang telah diatur Tuhan secara universal di dalam setiap agama.
Menekankan
Dialog
Seiring
tumbuh-kembangnya pemahaman seputar toleransi agama-agama dan pluralisme, kini
berkembang pula suatu paham teologi agama-agama yang menekankan urgensi dan
arti pentingnya memasuki tataran dialog agama. Setidaknya dialog antarpemeluk
agama yang sama. Bahkan, dialog agama perlu dilakukan di antara pemeluk agama
yang berbeda agar memahami metode baru dengan filsafat yang mendalam guna
menuju perdamaian universal. Untuk itu, perlu adanya perubahan sikap
keberagamaan yang eksklusif menjadi sikap keberagamaan yang inklusif. Karena
meskipun secara ritual masing-masing agama memang berbeda, tapi dari sisi
spiritual sejatinya sama.
Peradaban
dalam masyarakat madani (civil society) mengutamakan dialog dalam berdakwah.
Sebaliknya, modus kekerasan setiap orang dalam "membela agama" kerap
memicu masalah-masalah krusial, bahkan menodai citra agamanya sendiri. Adakah
suatu agama yang membenarkan cara-cara tidak beradab itu? Maka spirit ahimsa
atau pantang kekerasan (non-violence) yang diusung Mahatma Gandhi di India akan
tetap relevan sepanjang zaman.
Budaya
dialog ini bukanlah semata-mata dilihat sebagai kebutuhan untuk membangun
kehidupan sosial yang rukun dan damai, tapi sejatinya sebagai suatu kesadaran
yang harus berkembang terus seiring meningkatnya kualitas pengetahuan dan
pemahaman keagamaan seseorang. Dengan demikian, budaya dialog ini akan
memberikan kontribusi besar bagi perdamaian dunia.
Tag :
Opini
0 Komentar untuk "Pentingnya Budaya Dialog"