Introspeksi Diri, Bersatu dalam Perbedaan


Meski perbincangan soal ormas Front Pembela Islam (FPI) bagai (lampu kelap-kelip) kadang berkedip “mencuat” kadang meredup “hilang”, namun tidak menafikkan bahwa sejarah mencatat didalam bulan Februari ini masyarakat Indonesia benar-benar dihebohkan dengan isu prokontra pembubaran Front Pembela Islam (FPI).

Begitu juga bahwa di kabarkan FPI tengah disorot oleh publik agar keberadaan FPI di Indonesia segara di bekukan dan dibubarkan. Meskipun kita tahu sudah cukup lama ada desakan pembubaran FPI tersebut. Melihat mereka yang sering melakukan razia, mengambil tindakan yang seolah-olah mengambil alih peran aparat keamanan dan sikap anarkisme yang selalu di kedepankan.

Namun “gembor-gembor” soal prokontra pembubaran FPI kembali muncul semenjak pada hari Selasa, 14 Februari 2012, Dimana ratusan massa yang berasal dari berbagai elemen masyarakat melakukan aksi damai bertajuk “ Indonesia Tanpa FPI” di bandaran Hotel Indonesia.

Aksi tersebut terinspirasi dari aksi demonstrasi yamg dilakukan ratusan warga Dayak yang menolak kedatangan FPI di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Masyarakat Dayak dengan tegas menolak FPI masuk ke wilayahnya karena tidak ingin kehidupannya yang tenang dirusak oleh kehadiran FPI yang terkenal sebagai perusak dan selalu menjunjung anarkistis.

Bersatu dalam Perbedaan
Diakui atau tidak dalam sebuah catatan sejarah ormas yang diketuai oleh Habib Rizieq ini memang disegani sebagian kalangan masyarakat. Tapi sayang FPI memang terkenal dengan garis kekerasan dalam setiap aksinya, bahkan lebih buas dari Satpol Pamong Praja (PP) yang sedang mengusir menggusur rumah warga atau pedagang kaki lima.

Salah satu kasus masa lalu yang tragis dilakukaan ormas FPI yang sempat menjadi perhatian nasional adalah tindakan kekerasan dan perusakan yang di lancarnkan oleh laskar FPI di kantor Kemendagri dan bentrokan di Monas. Semunya di babi buta sampai habis sampai-sampai nyawa-pun ada yang melanyang dalam tragedi Monas tersebut.

Begitu amat disayangkannya sebuah strategi dakwah radikal yang diusung FPI yang dinilai tidak pantas dipertahankan dan dijadikan instrumen dalam menegakkan hukum di Indonesia. Mengusung jalan benar tapi dalam proses yang salah sungguh ironi, semisal dalam ruang lingkup amar makruf nahi munkar, Mereka seakan kejam terhadap sesuatu yang tidak sependapat dengannya “tidak menerima dalam perbedaan”, dan itu  sungguh tidak mencerminkan ajaran agama Islam sebenarnya, Islam  adalah agama yang menebar cinta kasih bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiin).

Secara eksplisit bahwa tindakan FPI telah menciderai kepentingan kolektif umat Islam di Indonesia sekaligus dinilai sebagai tindakan yang merugikan kelompok beragama.Untuk itu FPI perlu melakukan pendefinisian ulang terhadap makna strategi dakwah yang santun dalam manajement syiar agama yang pas di Indonesia.
Oleh karena itu kalau seandainya tindakan anarkistis tersbut kembali di terapkan oleh FPI, Maka tidak menutup kemungkinan semakin berakibat tercorengnya citra agama Islam di mata dunia. Karena kita tahu aksi anarkistis ormas dalam bentuk apa pun selamanya tidak dibenarkan dalam sebuah pembenaran oleh akal sehat, agama, dan negara. Masih banyak cara yang lebih halus, bernuasa cinta kasih sayang, simpatik serta persuasif yang bisa dikedepankan dalam menegakkan kebenaran dan meluruskan yang keluar dari norma tanpa menganut “faham anarkisme”.

Tapi mengapa sekarang ini, rasa tersebut seakan sudah mulai hilang dan kekerasan atas nama Tuhan semakin merajalela. Padahal agama kita “Islam” tidak mengajarkan kekerasan? Begitu pula semua agama tidak mengajarkan menjadi seorang yang perusak, agama tercipta untuk menebar cinta dan kedamaian apalagi agama Islam yang sangat mengedapankan nilai humanisme dan cinta kasih sayang dan menghargai perbedaan dalam keberagaman.

Kita tahu bahwa dalam ajaran Islam itu sendiri sudah dikenalkan oleh istilah Hablumminalah dan Habluminannas. Habluminallah adalah sebuah usaha berinteraksi harmonis antara sang hamba dengan ilahi agar manivestasi cinta kita kepada Allah (sang kholik) terpenuhi. Habluminannas adalah hubungan dengan manusia lain agar kita selalu berbuat baik dalam kehidupan bermasyarakt dan bernegara. Oleh karena itu sekiranya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa keyakinan manusia kepada Tuhan adalah urusan dalam keadaan pribadi dan setiap orang memiliki cara masing-masing untuk dekat dengan Tuhan. Disinilah mungkin saatnya kita harus tetap bersatu dalam perbedaan, perbedaan itu akan membuat kita saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian mencintai Indonesia berarti mencintai juga perbedaan yang ada di antara kita.
Mengutip perkataan JF Kennedy “Jika kita tidak bisa mengakhiri perbedaan, setidaknya kita bisa membantu membuat dunia aman bagi keberagaman (diversity)”.

Presiden kita yang pertama Ir Soekarno juga pernah berpidato bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan,bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, melainkan milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu semua ormas seharusnya bisa mengembalikkan eksistensi kesatuan dalam sebuah keberagaman.

Perlu Intropeksi
Sebetulnya kasus prokotra Pembubaran FPI juga tidak bisa terlepaskan dari peran aparat keamanan yang kerjannya nol, FPI ini kalau dilihat perspektif lain juga  ingin agar negara tidak tercemar oleh kemaksiatan dimana-dimana. Namun kesewenangan FPI sudah melampui batas jauh dibatas aparat keamanan yang diambil dengan sikap anarkis, Untuk itu  diharapkan aparat keamanan sekarang ini harus benar-benar bekerja keras dengan menindak para pelaku kemaksiatan yang makin membrutal dan makin nekat baik di malam hari maupun di siang bolong.

Tapi di sisi lain, di pihak internal FPI sendiri yang terkena sandra isu ini mestinya bisa kemudian introspeksi diri. Seperti  yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta agar FPI untuk introspeksi diri. Karena ini dilakukan oleh ormas secara pribadi, setelah dikecam dan ditolak di mana-mana, mestinya bisa dijadikan sebuah materi perenungan dari pihak internal.
Apakah perjuangan model yang ditempuh sekarang itu mampu mengubah keadaan (ikhwal) , atau tidak? Apakah dengan bertindak anarkis, dan seenak sendiri itu sudah mampu mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya yang cinta kasih sayang dan santun? Ataukah hanya mampu membuat onar belaka?


Nanang Qosim
Mahasiswa Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi
Tag : Opini
0 Komentar untuk "Introspeksi Diri, Bersatu dalam Perbedaan"

Back To Top