Pengadilan “Ethok-ethok”

Pengadilan “Ethok-ethok”
Adi Andojo Soetjipto, MANTAN HAKIM AGUNG/KETUA MUDA MAHKAMAH AGUNG
SUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012



Setiap kali saya menonton dan mengikuti siaran televisi yang menayangkan jalannya sidang pengadilan tipikor yang mengadili perkara tindak pidana korupsi wisma atlet SEA Games dengan terdakwa M Nazaruddin, saya merasa sangat gemas dan malu.
Sebagai mantan hakim, saya melihat bahwa pengadilan yang berjalan hanyalah pengadilan ethok-ethok alias abal-abal. Bukan pengadilan yang berpegang pada kemandirian dan berwibawa.

Anda tahu apa itu pengadilan ethok-ethok? Pengadilan ethokethok adalah badan peradilan yang sah yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan semua pelaksananya—hakim, jaksa, panitera, sampai pengacara—adalah sah. Namun, dalam pelaksanaan persidangan, semua isinya merupakan permainan yang disutradarai oleh mereka yang punya kepentingan. Siapa pun dapat melihatnya dengan jelas. Pengadilan semacam itu adanya hanya di Indonesia.

Di negara-negara lain, khususnya negara yang demokratis, pengadilan yang demikian itu tidak ada. Yang ada, ya, pengadilan beneran, yang melaksanakan tugas dengan cara independen. Putusan-putusannya pun independen. Tidak ada pengaruh dalam bentuk apa pun: uang ataupun tekanan.

Apa tanda-tanda kalau pengadilan (ethok-ethok) itu ada di Indonesia? Ah, semua orang tahu, dari media cetak ataupun elektronik. Apalagi, sekarang ini penyebaran informasi yang kian canggih dan modern dapat diikuti oleh segenap masyarakat sampai ke pelosok Tanah Air.

Cara hakim memimpin sidang jadi cemoohan. Saksi yang selalu menjawab ”tidak tahu” atau ”lupa” menjadi ejekan. Penarik-penarik ojek, sopir-sopir taksi, sampai ke para pelanggan warung (nasi) tegal semua ikut berkomentar bernada negatif, yang membuat rakyat yang melihatnya jadi gemas.

Perlu Hakim Berjiwa Hakim

Hal yang tidak masuk akal bisa terjadi dalam pengadilan ethok-ethok itu. Sesuatu yang sudah jadi ”penetapan pengadilan” dapat dibatalkan hanya karena salah satu pihak tidak datang sebab beralasan sakit tanpa surat keterangan dokter. Catatan sepanjang pengalaman saya sebagai hakim selama 40 tahun, hal yang sudah jadi ”penetapan pengadilan” harus dilaksanakan demi kewibawaan pengadilan. Hal itu supaya tidak dikatakan pengadilan mencla-mencle, tidak berpikir secara matang sebelum bertindak atau melakukan sesuatu.

Tanda-tanda lain adanya pengadilan ethok-ethok adalah apa yang terungkap secara ”gamblang” atau cetho welo-welo di sidang pengadilan masih saja dianggap ”kurang lengkap” sehingga diperlukan alat bukti tambahan atau tidak perlu didengar keterangannya di sidang. Dan, anehnya, hakim hanya meng-”iya”-kan.

Dulu kita kenal istilah invisible hands dalam masalah pengaruh-memengaruhi ini. Sekarang, apakah hal itu masih terjadi juga di dunia peradilan kita? Padahal, Presiden selalu meneriakkan: ”Tegakkan keadilan! Berantas korupsi!”

Kalau hal ini masih terjadi, kita pasti merasa sedih dan malu. Artinya, seruan Presiden tak digubris dan pilar-pilar pengadilan sudah ambruk. Kita kenal kata-kata ”intervensi”, tetapi kalau Mahkamah Agung turun tangan melakukan tindakan terhadap hakim yang dinilai tidak profesional, itu namanya bukan merupakan intervensi, melainkan ”menjaga supaya keadilan ditegakkan dengan benar”, dengan menugaskan hakim-hakim yang cerdas, jujur, berani melawan segala tekanan dan campur tangan. Pokoknya, hakim yang (benar-benar) berjiwa hakim.

Sekarang pengadilan terhadap perkara korupsi wisma atlet SEA Games masih berjalan. Kita tunggu saja kesudahannya: apa pengadilan ethok-ethok akan jadi pengadilan beneran yang mampu menunjukkan dirinya sebagai badan pengadilan yang benar-benar independen, atau tetap menjadi pengadilan yang menjadi cemoohan rakyat.
0 Komentar untuk "Pengadilan “Ethok-ethok”"

Back To Top