Guru sebagai Penentu Kelulusan Siswa

Nanang Qosim
Sebagaimana kabar dari Kemendikbud (www.kemdikbud.go.id), bahwa Ujian Nasional (UN) tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan siswa. Informasi tersebut menjadi angin segar bagi para siswa yang kini sedang sibuk mempersiapkannya. Kebanyakan dari siswa setuju bahwa UN tidak menentukan kelulusannya. Karena itu, siswa-siswi kelas tiga SMP, SMA dan SMK menyampaikan aspirasinya terhadap kebijakan yang dibuat oleh Anis Baswedan, selaku Menteri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud RI).
Dari kebijakan tersebut, nilai UN yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan akan cukup berpengaruh terhadap mental siswa. Sekaligus ketegangan siswa menurun drastis bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun bukan berarti pihak sekolah dan guru tidak punya kewajiban yang lebih, tapi sekolah dan guru wajib membekali mereka dengan banyak motivasi, salah satunya sekolah bisa mengadakan lomba UN agar lebih siap dan memacu nilai serta semangat mereka.

Pro dan Kontra
Memang tidak dipungkiri, bahwa sistem UN dari tahun ke tahun selalu menuai pro kontra yang tiada habisnya. Banyak pihak yang beranggapan UN tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan kelayakan siswa untuk lulus atau tidak, selama mengikuti pelajaran duduk di bangku sekolah. Ada banyak faktor yang membuat UN dianggap tidak layak menjadi penentu kelulusan seorang siswa.
Salah satu faktornya, jika UN masih tetap menjadi acuan untuk menentukan kelulusan siswa, maka sistem untung-untunganlah yang sebenarnya berbicara. Karena siswa yang pintar dan rajin dalam mengikuti sistem belajar mengajar sehari-hari, namun kurang beruntung dalam menyelesaikan UN, ia akan menerima hasil yang mengecewakan.
Sementara apabila ada anak didik yang pemalas, kurang pintar, dan sedikit bandel pada saat sistem belajar mengajar sehari-hari berlangsung, namun keberuntungan saat UN menaunginya, maka bukan hal yang mustahil anak tersebut mendapatkan hasil yang sangat baik. Bukankah ini sistem untung-untungan.
Kemudian, sama-sama kita sadari bahwa standar kemampuan yang dimiliki siswa di seluruh Indonesia sangat bervariasi. Tanpa mengecilkan dunia pendidikan di daerah-daerah, khusunya di pedalaman Indonesia, kita harus membuka mata bahwa media dan fasilitas yang dimiliki sekolah-sekolah yang ada di daerah dan di kota sangat jauh berbeda. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor yang menentukan kapasitas siswa dalam mengikuti sistem belajar mengajar di sekolah.
Jika di kota-kota besar, buku pelajaran yang menjadi penunjang belajar siswa untuk mendapatkan berbagai referensi tambahan sangat mudah didapat, maka hal tersebut tidak berlaku di daerah pedalaman Indonesia. Jangankan untuk mendapatkan buku paket yang menjadi media penunjang dalam sistem belajar mengajar, buku catatan yang mereka gunakan saja terkadang campur baur antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Ini realita yang tidak bisa dielakkan dan tidak pula bisa dipersalahkan. 
Karena memang begitulah keadaan dunia pendidikan kita hingga saat ini. Sehingga apabila pemerintah masih masih tetap menggunakan UN dalam menentukan kelulusan siswa, maka ketimpanganlah yang sebenarnya terjadi dalam sistem pendidikan tersebut.
Jangan pula salahkan guru atau pihak sekolah secara mutlak, apabila terjadi kecurangan di sana-sini dalam pelaksanaan UN dari tahun ke tahun. Sebab harus secara adil dan rasional kita berpikir, sekolah mana yang menginginkan siswanya tidak lulus saat UN. Semua sekolah sangat berharap seluruh siswanya lulus. Selain untuk tetap menjaga nama baik sekolah, yang terpenting adalah bagaimana anak-anak didik mereka tidak mengalami kegagalan saat UN berlangsung.
Melihat dan menyadari kemampuan siswanya yang sangat minim jika mengerjakan soal-soal UN, maka guru harus rela membohongi dirinya sendiri dengan cara memberikan jawaban kepada para siswa yang sangat dicintainya agar tidak mengalami kegagalan. Lantas apakah itu merupakan kesalahan mutlak dari guru? Hanya nurani kitalah yang dapat menjawabnya.

Guru Sebagai Penentu
Jika kita objektif dan cermat, siapa yang berhak menentukan kelulusan siswa. Maka, gurulah yang paling berhak untuk menentukan layak atau tidaknya seorang siswa lulus. Karena gurulah yang mengetahui secara persis bagaimana kemampuan dan tingkah laku anak-anak didiknya sehari-hari dalam menerima pelajaran yang mereka berikan.
Sebagaimana menurut Anies Baswedan, bahwa sekolah dan guru dianggap paling tahu mengenai siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Artinya, di sekolah, guru melihat dan menilai secara langsung setiap komponen dalam diri siswa, sehingga penilaian diharapkan dapat lebih objektif.
Karena itulah, penulis setuju, bahwa untuk penetapan kelulusan siswa menjadi hak sekolah dan guru, karena selama tiga tahun menempuh pendidikan, guru mengamati dan menilai seluruh kompetensi siswa. Dari sanalah guru kemudian dapat menetapkan apakah siswa tersebut pantas lulus atau belum.
Sebagai akhir tulisan ini, sesungguhnya keberadaan UN penting untuk mengukur dan mengontrol kualitas pendidikan secara berkesinambungan. Jangan sampai praktik kecurangan UN masih terjadi seperti sebelumnya, karena akan berdampak tidak baik pada sistem pendidikan kita.  


Tag : Opini
0 Komentar untuk "Guru sebagai Penentu Kelulusan Siswa"

Back To Top