NU dan Spirit Kemandirian

Nanang Qosim
Bulan Januari 2016 terasa istimewa bagi Nahdhlatul Ulama (NU), mengingat tanggal 31 Januari tahun ini, Nahdlatul Ulama genap berumur 90 tahun. Organisasi NU didirikan pada 31 Januari 1926 M yang bertepatan dengan 16 Rabiul Awal 1339 H oleh KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri. Suatu rentan perjalanan yang panjang untuk sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Sudah pasti banyak kiprah dan pencapaian yang telah digapai, namun banyak pula tantangan yang mengadang di depan.
Sebagai salah satu organisasi tua di Indonesia, kiprah NU harus diakui tidaklah sedikit. Selain memperjuangkan kebebasan madzhab seperti sejarah dalam pembentukannya, NU juga sebagai pewaris Wali Songo dalam gerakan prilbumisasi Islam. NU lah organsisasi yang paling vokal dalam gerakan Islam kultural dan masyarakat madani di Indonesia.
Sebagai organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai Aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang ekslusif namun inklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Keragaman dan pluralitas itulah spirit yang terus diembuskan NU dari dulu hingga sekarang.
NU seperti “nur” (cahaya) dari maraknya kekerasan, sukuisme, primordialisme, dan fanatisme berlebihan sebagian anak bangsa, yang seringkali mendatangkan konflik horizontal. NU bukan ormas yang sekedar mengeluarkan fatwa benar dan salah atau stempel hitam dan putih. Tapi, NU menjadi juru damai yang berada di garis tengah (moderat).
NU terus tampil di garda paling terdepan membela kebinekaaan dan kemajemukan. Bahkan NU lah ormas yang pertama kali mendukung dan sepakat bahwa Pancasila adalah asas final bagi Indonesia.
Dalam sikap kebangsaan NU telah memproklamirkan tiga hal yaitu: ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Makanya, NU terus mengelola perbedaan yang terjadi negeri ini, dengan penuh perjuangan, NU terus menghembuskan pilar-pilar toleransi antar sesama, sehingga bisa NU bisa mewujudkan harmonisasi dalam masyarakat.
Pandangan NU tentang sebuah peradaban juga tidak berpatok pada hal yang lama saja, namun “dinamis”, dalam pandangan tradisi NU; menjaga hal-hal lama yang masih baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Dalam tradisi NU tidak boleh ada sikap a priori, selalu menerima yang lama dan  menolak yang baru atau sebaliknya (KH Muchit Muzadi, 2006 : 73)

Sisi lain Kontribusi NU
Juga harus diakui, selama perjalanan yang panjang, NU terus memberikan kontribusi untuk negeri tercinta ini. Dalam bidang ekonomi-sosial, NU telah mengusung ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang diimplementasikan dalam aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan kaum yang termarginalkan.
Salah satu contoh NU mendirikan Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat tersebut dijadikan basis NU untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, kaum nahdliyin selalu tampil untuk mengembangkan usaha-usaha perekonomian kerakyatan.
Dalam ranah pendidikan, NU mewujudkannya dalam bentuk pesantren dan universitas umum. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan moral dan adiluhung dalam hidup dan bernegara dan berbangsa. Sedangkan universitas merupakan lembaga pendidikan yang akan mencetak manusia berintelektual tinggi, tangguh dan berakhlak.
Demikian pula, dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas politik, bukan tipu muslihat politik.  Bahkan kalau kita kembali ke ranah historis, NU adalah organisasi aktif dalam menumpas komunisme dalam semua aspek pada masa orde lama. NU tercatat sebagai kelompok (yang pada waktu itu sebagai parpol) pertama yang mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. Harian Duta Masyarakat milik NU juga kemudian menjadi tempat perlawanan jurnalistik terhadap isu komunisme setelah Prof.Dr Hamka dihantam PKI. (Ali Mas’ud, 1999).
Selain peran tersebut, NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i’tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan) (Ali Maskur Musa, 2011 : vii-viii)

Spirit  Kemandirian
NU juga dikenal sebagai organisasi yang mengusung kemandirian. Spirit kemandirian, inilah yang pernah dikemukakan KH Saiq Aqil Siradj, ketua PBNU sekarang. Maka dalam milad ini NU harus fokus berbenah dan harus terus mengusung kemandirian, khususnya dalam kemandirian perekonomian rakyat.
Spirit kemandirian ini tidak lain spirit berwirausaha (entrepreneurship) yang harus menjadi denyut nadi bagi masyarakat NU khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ini penting karena berwirausaha bukan hanya bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan, tapi juga dapat melatih pola pikir mandiri di kalangan anak bangsa.
Mengingat NU lahir tumbuh dari bawah, misalnya saja warga nahdliyin yang menjadi petani sangat banyak, hampir sekitar 75,9 juta di bawah NU. Pastinya upaya NU harus selalu memberdayakan petani, baik untuk menerapkan wawasan pertanian, meningkatkan prokduktivitas, serta membangun mata rantai dari proses tani hingga pemasaran. Jadi, sudah selayaknya NU perlu mengembangkan argo-entrepreneurship di kalangan warga nahdliyin.
Keberadaan NU menjadi ironis kalau sebatas sebagai ormas semata, tetapi harus menjadi ormas yang siap mengusung spirit kemandirian. Dengan cara apa? Setidaknya di dalam jati diri warga nahdliyin harus tertanam spirit berwirausaha. Semangat itu penting dalam upaya membantu percepatan pembangunan bangsa agar mampu bersaing di kancah global.
Warga nahdliyin jangan pernah bersantai-santai ria. Namun spirit kemandirian tersebut harus terus ditingkatkan sampai kapanpun. Karena, jika nafas kemandirian itu “kendor”, maka upaya NU mengusung kemandirian akan redup ditelan waktu.

Terakhir, perjalanan NU yang begitu lama. NU harus lebih progresif dalam membangun kemandirian umat. Caranya, NU harus mempersiapkan para entrepreneur muda dengan dimulai dari kader paling bawah, yakni dari IPNU-IPPNU sejak sekarang. Para generasi NU harus digembleng bagaimana cara berwirausaha yang baik. Di sinilah, dibutuhkan kesadaran bagi segenap masyarakat NU (warga nahdliyin).  
Tag : Opini
0 Komentar untuk "NU dan Spirit Kemandirian"

Back To Top