Karya ilmiah merupakan produk dari proses dialektika ilmu pengetahuan. Di dalam ajaran Islam yang menjujung tinggi ilmu pengetahuan, karya ilmiah mendapat apresiasi yang sangat tinggi sebagaimana perhatian Islam kepada ilmu pengetahuan itu sendiri. Ditegaskan oleh Allah SWT di dalam ayat suci Al Qur’an Surat Al Mujadilah ayat 11. Bahwa Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan, beberapa derajat ketinggian atau kemuliaan dibanding yang lainnya.
Hukum ilmu pengetahuan bersifat plural dan inklusif untuk umat manusia seluruhnya, bukan hanya untuk umat Islam. Sunnatullah ini merupakan manifestasi dari keadilan Allah SWT. Kita menyaksikan bangsa-bangsa yang hari ini menjadi poros peradaban, yang memiliki derajat tinggi dari semua sektor kehidupan, adalah bangsa yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat.
Maka menjadi menarik mengamati diskursus surat edaran Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) tentang syarat untuk lulus S1, S2 dan S3 dua pekan belakangan, dengan pendekatan Islam. Sebagai ajaran yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai maintream dari setiap aktifitas dan praktek keberagamaan, Islam memiliki alasan yang kuat.
Kita saksikan, beberapa pemain utama di Asia dan dunia yang dua dekade terakhir menjadi pusat perhatian karena perkembangannya yang sangat pesat, seperti China, Jepang, India dan Korea Selatan merupakan negara yang dua dekade terakhir memfokuskn perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Mengutip Kishore Mahbubani (2011), bahwa dorongan riset pada sektor sains memberi andil besar bagi peningkatan ekspor produk-produk berteknologi tinggi Asia, dari 7 persen medio 1980 menjadi 25 persen pada tahun 2001. Hal ini bersamaan dengan meningkatnya jurnal ilmiah yang menjadi landasan riset, naik dari 16 persen tahun 1990 menjadi 25 persen tahun 2004.
Dari data yang dilansir majalah Time edisi Oktober 2006 yang bertajuk “Asia’s Great Sains Experiment”, menurut Richard Smalley, tahun 2010 ada 90 persen dari semua Ph.D bidang sains dan teknik mesin hidup dan berkontribusi bagi kemajuan Asia. Linier dengan meningkatnya alokasi anggaran untuk riset beberapa di negara. Seperti China yang mengalokasikan 1,3 persen dari PDB, Korea Selatan dari 9,8 miliar dollar As pada 1994 menjadi 19,4 miliar dollar AS pada 2004.
Pergeseran pusat gravitasi ilmu pengetahuan dan gelombang kebangkitan ekonomi ke Asia yang dipelopori oleh negara-negara itu, selayaknya menjadi spirit bagi kita untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi yang berbasis riset dan diawali dengan tradisi menulis karya ilmiah. Sangat relevan dengan ajaran Islam yang menganjurkan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan dan menjanjikan kemuliaan kepada siapa saja yang mentradisikan intelektualitas.
Dalam tinjauan sejarah, China, India, Jepang dan Korea Selatan kontemporer, persis pada masa-masa kejayaan dan keemasan peradaban Islam yang memenuhi dunia dengan cahaya ilmu pengetahuan. DR. Mustafa Siba’i (2002) mencatat, sejak abad ke 6 masehi hingga abad ke 13 masehi ilmuwan-ilmuwan Islam menjadi rujukan bangsa-bangsa barat dan timur. Dalam hal ini, Gustav Lebon memberikan kesaksian. Menurut Lebon, kecintaan umat Islam terhadap ilmu-ilmu besar sekali. Umat Islam mencapai puncak kebudayaan yang sangat tinggi. Membangun sebuah peradaban yang membuat ilmu-ilmu pengetahuan mencapai puncaknya.
Inklusuvitas ilmuwan Islam pada masa itu turut menjadi alasan mengapa perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat hingga ditransformasikan ke barat. Prof. Mulyadhi Kartanegara (2010) mencatat majelis-majelis ilmu para ulama seperti Al Kindi, Al Khwarizmi, Abu al Hasan al ‘Amiri hingga al Farabi, dipenuhi oleh kajian kitab-kitab dari karya filusuf dan pujangga Persia, Yunani, dan India. Para peserta di dalam majelis ilmu tersebut juga datang dari berbagai kalangan yang mencerminkan keterbukaan.
Al Farabi misalnya, memiliki guru logika dan filsafat bernama Yohanna Haylan dan Bisyr Matta yang keduanya beragama Kristen. Seorang murid al Farabi yang terkenal, Yahya ‘Adi juga seorang Kristen jakobite. Yahya ‘Adi kemudian juga memiliki murid beragama Islam bernama Abu Sulaymin al-Sijistani.
Oleh karenanya, kebijakan Dikti ini juga menjadi momentum memperluas jaringan intelektual Indonesia yang tidak hanya dimonopoli oleh tokoh-tokoh pendidikan, rektor-rektor dan para profesor. Tetapi jejaring intelektual juga harusnya mengakar hingga ke mahasiswa sebagai bagian dari entitas intelektual.
Menerbitkan makalah pada jurnal internasional merupakan cara yang cukup strategis. Menyebabkan terjadinya persentuhan, dialog dan transformasi intelektual dengan intelektual luar. Hal ini memperkaya cakrawala keilmuan di Indonesia yang semakin inklusiv sebagaimana dipraktekkan ulama di masa lalu.
Mengurai Masalah
Keterbatasan jurnal ilmiah dengan hanya 300 buah yang terakreditasi sebagaimana data yang disampaikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berakar dari kurangnya karya tulis yang dihasilkan oleh akademisi kita. Maka salah satu cara mendorong produktifitas menulis adalah dengan memberi stimulus. Salah satunya mensyaratkan penulisan karya ilmiah untuk lulus dari perguruan tinggi.
Data berikut bisa menjadi renungan. Mengutip Edison Munaf (2011), pada 2010 total publikasi internasional Indonesia hanya 1.925 artikel. Terpaut jauh dibanding Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843). Rasionya, hanya mencapai 7,9 artikel per 1 juta penduduk. Dibadingkan dengan Singapura menghasilkan 2.581 artikel, diikuti oleh Malaysia (300),Thailand (201), Pakistan (39),Vietnam (20,9),Bangladesh (10,7),serta Filipina (9,2).
Produktifitas tersebut tidak linier dengan jumlah perguruan tinggi di Indonesia. Data dari Dikti mengungkapkan jika dari total 3070 perguruan tinggi di Indonesia, 97,1 persen atau 2987 merupakan perguruan tinggi swasta (PTS). Perguruan tinggi negeri hanya 83 buah atau 2,7 persen. Rinciannya dari bentuk lembaganya sebagi berikut 465 berbentuk universitas, 55 berbentuk institut, 1345 sekolah tinggi, 1037 akademi, dan 168 politeknik.
Kewajiban menerbitkan karya ilmiah akan menjadi treagger kebangkitan iklim intelektual di kampus-kampus. Civitas akademika, baik mahasiswa maupun dosen akan membenahi diri sehingga berdampak positif pada sistem belajar dan mengajar. Kampus akan berubah menjadi ruang akademik intelektual yang sehat. Baik budaya membaca, menulis, riset hingga diskusi. Apa lagi jika penerbitan jurnal ilmiah kualitasnya betul-betul dimonitoring secara disiplin oleh pemerintah (LIPI dan DIKTI).
Selanjutnya, keterbatasan infrastruktus pendidikan, yang paling kontras gapnya, yaitu antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) bisa direduksi secara perlahan. Ada alasan bagi pihak swasta untuk meminta perhatian pemerintah kepada PTS. Artinya, kebijakan menerbitkan karya pada jurnal ilmiah, berdampak baik bagi pemerataan kualitas pendidikan. Sebagai regulator, pemerintah tentu berkewajiban memfasilitasi agar regulasi yang dikeluarkan bisa terlaksana dengan baik.
Jika konstruksi awal mengeluarkan kebijakan publikasi pada jurnal ilmiah tersebut untuk meningkatkan kualitas, maka terjadi sinergitas yang baik antara swasta dengan pemerintah. PTS yang selama ini lebih berorientasi pada profit, pun akan mengevaluasi diri hingga kualitas belajar mengajar tetap terkontrol dan akhirnya secara simultan berdampak positif pada kualitas alumni dan tentu berdampak positif bagi kemajuan umat dan bangsa.
Tag :
Artikel
0 Komentar untuk "Islam, Karya dan Tradisi Ilmiah"