Begitu banyak orang membincang pluralisme. Mereka mengatakan bahwa pluralisme adalah paham yang mempelajari tentang segala sesuatu yang jamak. Terdengar suara dari perbincangan mereka, “kita harus saling menghormati, menyayangi dan tenggang rasa”.
Keesokan harinya, aku lihat salah seorang yang ku dengar berbincang kemarin, berbincang pula pada orang yang tidak ada dalam segerombolan kemarin. “Kok bisa-bisanya mereka memasang kain kotak-kotak putih hitam di patung dan pohon itu?” itulah kata yang sempat ku dengar ketika tanpa sengaja melewatinya.
Sungguh tak ada jiwa pluralisme dalam perkataan tersebut. Itulah penilaianku setelah lima menit berfikir tentangnya. Pluralisme bukanlah diskusi belaka. Akan tetapi, sebuah paham toleransi atas kemajemukan yang ada, yang merasuk ke dalam jiwa manusia yang menyadarinya. Percuma bila kita selalu membincangnya, tetapi perbincangan hanya terjadi dan berhenti di mulut saja. Tak akan ada hati yang tahu tentang pluralisme.
Melihat itu semua, ku teringat tentang tiga cara dalam beragama. Yaitu beragama dengan wahyu, dengan logika, dan yang terakhir dengan rasa. Cara berpluralisme, tidak berbeda jauh dengan cara beragama.
Ketika seseorang berpluralisme dengan wahyu, pastinya ia akan menggunakan nash Al Qur’an surat Al Kafirun ayat 6 yang artinya, “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. Akan tetapi, dia pasti akan sangat cuek pada orang lain, individualistik, karena menganggap urusan orang lain bukan urusannya, dan sebaliknya.
Berbeda lagi bila kita menggunakan logika dalam berpluralisme. Kita akan sangat menghormati orang lain, tetapi hal itu hanya sampai di permukaan saja. Cara inilah yang dilakukan orang-orang di atas tadi. Berbincang pluralisme, menjadikannya suatu kajian.
Cara yang berikutnya adalah dengan rasa. Rasa inilah yang sangat mendominasi jalan kehidupan manusia. Akan tetapi, sering, kita tidak menyadarinya. Sesungguhnya dengan rasa, kita akan benar-benar tahu dan merasakan pluralisme itu. Karena, yang bekerja menimbulkan rasa adalah jiwa.
Akan tetapi, untuk menimbulka rasa ini pun tidak mudah. Kita tidak bisa berdiskusi habis-habisan, atau pun membaca nash-nash pluralisme sehari semalam tanpa berhenti.
Ketika seseorang beruntung, ia akan tiba-tiba mendapatkan rasa tersebut. Akan tetapi tidak semua orang bisa langsung beruntung. Kita bisa mendatangkan rasa tersebut dengan membiasakan diri dengan lingkungan yang plural. Misalnya saja, kita adalah seorang guru, kita bisa belajar pluralisme pada seorang perawat. Atau kita adalah seorang Islam, kita belajar pluralisme pada seorang Hindhu. Akan terbuka semua jalan pikiran kita tentang dunia yang memang bermacam-macam, yang berbeda dari dunia kita.
Semua itu dilakukan, karena bila seorang Islam tetap mempelajari pluralisme dengan orang Islam sendiri, ia akan mendapatkan wacana dari sudut pandang Islam saja. Akan tetapi, semua itu harus dilandasi teologi yang memang sudah kuat. Bila tidak punya landasan tersebut, meding ikut yang sudah tahu deh. Yang penting saling menghormatilah sesama manusia, rasakan kalau memang manusia itu berbeda-beda. Oke bung ... salam kecintaan dan kebahagiaan ?
Tag :
Opini
0 Komentar untuk "Menjadikan Seorang Pluralis"