MENGUTIP seorang tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, dalam konsep cipta, rasa, dan karsanya, bahwa di dalam karsa, manusia harus membuktikan diri dengan karyanya. Salah satu karya yang perlu kita korelasikan dalam dunia akademis adalah adanya sebuah penelitian, penelitian tersebut yang nantinya akan menjadi tolok ukur untuk menilai sebuah bangsa.
Semakin banyak bangsa ini menghasilkan karya melalui kegiatan penelitian para akademisi, maka bangsa kita semakin dihargai dan dihormati oleh negara lain. Dengan syarat jika kalangan akademis mau berupaya menghasilkan sebuah penelitian yang banyak dan bagus, maka negara lain juga menilai bahwa bangsa kita mempunyai banyak prestasi keunggulan, kualitas sumber daya manusia (SDM) tinggi, dan anggapan negatif negara lain terhadap negeri kita akan berubah menjadi sebuah penghargaan yang luar biasa.
Lalu pertanyaannya apakah negara kita sekarang sudah dapat digolongkan sebagai negara yang kaya akan produksi karya ilmiah? Mungkin saat ini belum. Mengapa belum? Salah satunya adalah karena gebrakan kebijakan pembuatan karya tulis mendapatkan banyak hujatan. Padahal, kebijakan tersebut adalah "stimulus" untuk memajukan dunia akademis kita.
Inilah sebetulnya pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para mahasiswa masa kini, tidak hanya para pemangku kebijakan kampus atau stakeholder kampus. Lalu apakah anggapan bahwa semua mahasiswa negeri ini sensitif dengan adanya kewajiban pembuatan karya ilmiah? Saya kira tidak. Sebaiknya, mahasiswa mau merespons positif tentang hakikat pembuatan karya ilmiah tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam upaya mewujudkan karya-karya ilmiah tersebut Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud sebenarnya sudah mengeluarkan kebijakan bernomor 152/E/T/2012. Surat ini menegaskan, publikasi jurnal ilmiah untuk program S-1, S-2 dan S-3 merupakan salah satu syarat kelulusan, yang berlaku terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012. Publikasi jurnal tersebut merupakan bagian dari membumikan konsep karsa yang termanivestasikan dalam bentuk jurnal ilmiah dan itu sungguh patut diapresiasi.
Gebrakan Mendikbud di atas harus dibuktikan secara konkret, salah satunya dukungan untuk publikasi ilmiah memang harus dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Kemendikbud memutuskan kewajiban sekaligus mengharuskan mahasiswa program sarjana menerbitkan makalah di jurnal ilmiah lokal. Mahasiswa program master harus menerbitkan makalah di jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti. Adapun mahasiswa program doktor harus menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional.
Gagasan Mendikbud di atas sarat dengan orientasi mendorong hakikat seorang akademisi, yaitu agar semua mahasiswa mampu menulis maupun meneliti. Ada ungkapan, 'Yen ora nulis, ora ilok,' atau "Kalau tidak menulis itu menyalahi kelaziman." Oleh karena itu kewajiban publikasi ilmiah memang memang sangat penting.
Melihat Ketimpangan Akademis
Kebijakan tersebut di sisi lain memang tidak bisa terlepaskan dari sebuah dinamika dunia akademis. Di Indonesia, dinamika itu timpang dalam hal menciptakan karya jurnal ilmiah. Setiap hari, Indonesia semakin tertinggal dari negara lain dalam urusan karya ilmiah.
Karena menurut data dari Scimomagor, Journal dan Country Rank tahun 2011 menunjukkan, selama kurun 1996-2010, Indonesia telah memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Dari negara yang dihitung, Indonesia berada di posisi ke-64. Sementara, Malaysia telah memiliki 55.22 jurnal ilmiah dan Thailand 58.931 jurnal ilmiah (Kompas, 7/2/2012).
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa saat ini jumlah karya ilmiah yang berbentuk jurnal ilmiah negeri kita jauh masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Bahkan dengan negeri jiran (Malasyia) saja, terbitan jurnal ilmiah Indonesia masih sepertujuhnya. Lalu apakah kita tidak malu, negeri yang besar ini dikalahkan dengan negeri yang kecil tersebut yang suka mengakui budaya kita itu miliknya? Seharusnya, kita menang dari Malasyia.
Walupun ada opini yang mengatakan kebijakan tersebut jangan "menang-menangan" dari Malasyia semata, statement tersebut mudah terbantahkan. Karena dalam hidup ini, kita dituntut untuk Fashtabiqul khoirot, artinya berlomba-lombalah kamu dalam hal kebaikan. Lalu apakah penelitian itu bagian dari sesuatu yang tidak baik? Itu juga yang harus dijawab oleh mahasiswa.
Tapi jangan dilupakan juga bahwa semangat atas gebrakan kebijakan tersebut haruslah tulus dan ikhlas dalam rangka memajukan pendidikan kita dan negara tercinta ini.
Perlu Respons Positif
Oleh karena itu, sudah seharusnya gebrakan dari Kemmendikbud direspons positif dan kemudian direalisasikan oleh pihak kampus secepatnya. Namun sayang, dari pihak kampus seperti terkesan irespektif dan menolaknya, dengan alasan kebijakan itu terkesan terburu-buru, persiapannya tidak matang, dan dampaknya bisa saja mahasiswa terlambat menjadi sarjana (bagi yang S-1).
Padahal, apa yang diputuskan Mendikbud sangat memiliki tujuan baik dan perlu didukung, yakni untuk mempercepat pengembangan keilmuan. Lalu mengapa harus takut dan khawatir jika langkah tersebut intinya mengajak kita membudayakan menulis, meneliti sekaligus menuliskan hasilnya sesegera mungkin dalam sebuah karya ilmiah.
Jika hal semacam itu tidak segera direalisasikan, maka wajah negara kita akan dipotret buruk oleh negara lain akibat sedikitnya perguruan tinggi kita dalam menghasilkan karya ilmiah. Begitu juga sebaliknya, jika negeri kita mau dipotret bagus oleh negara lain, maka tunjukkan bahwa perguruan tinggi kita bisa dan mampu memproduksi berbagai karya ilmiah yang banyak dan berkualitas.
Oleh karena itu, sudah seharusnya para pemegang kekuasaan kampus, khususnya para mahasiswa perlu merespons dengan positif dan siap untuk kembali ke jati diri sebagai mahasiswa itu sendiri, pandai menulis dan meneliti.
Nanang QosimMahasiswa Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang
Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi(//rfa)
Baca Opini di : http://kampus.okezone.com/read/2012/03/01/367/585098/perlu-direspons-positif
Tag :
Opini
0 Komentar untuk "Perlu Direspon Positif"