Nanang Qosim |
Ujian Sekolah (US) yang
sekarang sudah berlangsung pada tingkat MA/SMA/SMK dan kemudian disusul pada
tingkat MTs/SMP. Begitu juga Ujian Nasional (UN) yang sudah mulai dipersiapkan
matang oleh para peserta didik pada tingkat MA/SMA/SMK, dan pada tingkat
MTs/SMP selanjutnya, tentunya menjadi bahan diskusi yang menarik untuk
diperbincangkan. Khususnya, mengenai makna ujian yang mengantarkan pada
kelulusan peserta didik ke jenjang yang lebih tinggi.
Jika berbicara tentang ujian, khususnya ujian
nasional, pada hakikatnya bukan semata ujian bagi peserta didik untuk lulus dan
menamatkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Namun sesungguhnya, UN
adalah uji integritas bagi seluruh pemangku pendidikan di sekolah, baik itu
guru, orang tua, pemerintah maupun masyarakat.
Diakui ataupun tidak, bahwa kepentingan para
pemangku pendidikan itu sangat besar. Tingkat kelulusan peserta didik dalam UN
akan menjadi indikator keberhasilan mereka. Semakin tinggi kelulusan peserta
didik, berarti mereka semakin berhasil. Sebaliknya, semakin banyak peserta
didik yang tidak lulus, itu berarti mereka tidak berhasil atau gagal.
Oleh karena itu, tidak menjadi rahasia lagi
jika seandainya masih berjalan sistem dengan ukuran kelulusan peserta didik
hanya bertitik pada nilai UN semata, maka bisa dipastikan kecurangan yang
terjadi seputar UN akan banyak melibatkan banyak pihak dan pastinya akan
menggerogoti dunia pendidikan kita. Praktek kotor yang disebabkan dengan hal
demikian sangat kronis dan terstruktur karena melibatkan praktisi pendidikan.
Dalam kurun waktu yang lama, kecurangan dalam ujian nasional sudah ibarat
lingkaran setan yang sangat sulit diatasi dan dibasmi. Tiap tahunnya, modus
kecurangan semakin berkembang dan hanya diendus ibarat bau kentut yang tidak
kelihatan tapi terasa bau busuknya.
Posisi guru sebagai ujung tombak pendidikan
di sekolah menjadi posisi yang paling dilematis, sekaligus memikul beban yang
paling berat. Guru yang berperan sebagai pendidik, tentunya sangat berharap peserta
didik yang mereka bimbing dan ajar setiap harinya dapat lulus dalam ujian, baik
US maupun UN.
Berharap
Lulus
Jamak berkeinginan tinggi, mulai dari orang
tua peserta didik dan pemerintah. Bahwa mereka berharap peserta didik yang ikut
ujian, semuanya bisa lulus. Orang tua peserta didik tentunya tidak mau kalau
anak-anak mereka gagal. Begitupun harapan pemerintah khususnya yang membidangi
pendidikan, jika banyak peserta didik yang tidak lulus maka mereka akan
mendapat banyak sorotan dari masyarakat, bahkan mungkin teguran dari atasan
yang lebih tinggi.
Mereka tidak mau dan takut kalau dinilai
gagal atau tidak berhasil. Peserta didik, orang tua, guru, kepala sekolah, dan
bahkan pemerintah tidak mau disebut gagal ketika banyak peserta didik yang
tidak lulus. Ketakutan-ketakutan inilah yang membuat mereka menghalalkan segala
cara meluluskan peserta didik mereka pada setiap ujian nasional dengan berbagai
modus kecurangan.
Menomersatukan Integritas
Tentunya bangsa ini sangat
mengharap integritas para praktisi pendidikan, khususnya para guru untuk tidak
lagi mencemari profesionalitasnya dengan melakukan kecurangan dalam pelaksanaan
ujian. Biarkanlah anak-anak kita belajar berjuang melalui tahapan tantangan
dalam kehidupan mereka yang lebih bermakna tanpa dikotori ketidakjujuran dan
manipulasi.
Biarlah anak-anak kita menjadi generasi
bangsa yang jujur, mandiri, dan pekerja keras, tidak seperti generasi sekarang
yang banyak melakukan kolusi, manipulasi dan korupsi. Jadikanlah setiap ujian
sebagai uji integritas bagi kita semua, guru maupun peserta didik. Kejujuran
itu sangat mahal harganya. Bahkan kejujuran adalah sifat ilmiah yang melekat
pada semua metodologi ilmu pengetahuan, jangan mencederai ilmu pengetahuan itu
dengan ketidakjujuran.
Oleh karena itu, penulis sangat mendukung
penuh usaha pemerintah yang sudah mengubah paradigma tentang ukuran kelulusan peserta
didik, yang dulunya menggunakan tolok ukur kelulusan berlandaskan hanya nilai
UN semata, tapi sekarang kelulusan peserta didik sudah berlandaskan pada
perpaduan antara hasil nilai US dan UN (50:50), dan pastinya gurulah yang bisa
menentukan lulus tidaknya peserta didik.
Alasan yang paling mendasari kenapa UN tidak
lagi menjadi alat pengukur semata, yaitu bahwa UN hanyalah alat ukur kognitif.
Artinya, UN sebagai instrumen penilaian pendidikan masih sangat lemah karena
hanya mampu mengukur aspek kognitif peserta didik saja, sementara aspek afektif
dan psikomotorik peserta didik tidak tersentuh. Padahal seharusnya kecerdasan
emosional, sprtitual dan skill tidak menjadi standar kompetensi peserta didik
yang diperhitungkan. Dan itu artinya, UN sepertinya mendikotomi ilmu
pengetahuan dan cenderung melebihkan ilmu eksak dibanding ilmu sosial. Secara
tidak langsung hal tersebut telah mengkonstruksi pikiran peserta didik bahwa
ilmu eksak lebih baik dibanding dengan ilmu sosial. Oleh karena itu,
sangat pantas bila kelulusan peserta didik otoritas sekolah. Idealnya
nilai UN bukan faktor dominan dalam menentukan kelulusan peserta didik.
Otoritas Sekolah
Oleh karena itu, sangat
setuju atas kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini
Kemendikbud yang berlandaskan pada Permendikbud No 44/2014 tentang Ujian
Nasional, bahwa kelulusan ujian peserta didik tingkat SMP dan SMA melalui Ujian
Nasional (UN) dan juga Ujian Sekolah (US) adalah melalui perbandingan 50:50.
Sehingga dengan demikian Ujian Nasional 2016 bukan semata-mata sebagai penentu
kelulusan peserta didik tahun ajaran 2015-2016. Dan dibalik itu menjelaskan
bahwa secara makna tersirat diserahkan pada pihak sekolah. Artinya, otoritas
sekolah dalam menentukan kelulusan peserta didik merupakan terobosan yang
sangat positif, wajar dan logis.
Bagaimanapun pihak yang paling
bertanggungjawab dan paling tahu secara objektif kualitas dan kompetensi yang
dicapai oleh peserta didik itu adalah pihak sekolah. Dan Nilai UN cukuplah
menjadi standar pemetaan mutu pendidikan kita secara nasional.
Terlepas dari hasil yang ditorehkan pada peserta
didik dalam mengerjakan baik US maupun UN. Jamak kita tentu berharap kalau
hasil yang diberikan anak-anak kita semua baik, dan nilai baik tersebut
diperoleh dengan cara baik pula. Inilah ikhtiar kita bersama-sama untuk
menggaungkan pendidikan karakter yang digaungkan yang tidak sekedar slogan
tanpa makna, tapi wujud nyata dan penuh makna dalam bentuk ujian.
Khusus untuk peserta didik hukumnya wajib
untuk mulai sekarang berjuang untuk memperebutkan nilai terbaik, tidak mungkin
menghasilkan hasil yang baik jika tidak dimulai dengan belajar dan berdo’a
dengan sungguh-sungguh. Buktikanlah bahwa dunia pendidikan kita benar-benar
bersih dan dapat dipercaya. Kredibilitas dan integritas sekolah dapat
ditunjukkan melalui momen pelaksanaan ujian sekolah dan ujian nasional yang
jujur, bersih, dan bebas dari berbagai kecurangan dan penyimpangan. Semoga.
1 Komentar untuk "Momentum Menguji Integritas"